Selasa, 25 Februari 2014

Sekelumit Kisah di Kulonprogo



Sambutan warga
Saya dan teman saya, sebut saja namanya Vida ditugaskan untuk berdakwah selama lebih kurang 25 hari di bulan Ramadhan di sebuah desa bernama Jetis, kecamatan Girimulyo, kabupaten Kulonprogo, Kota Yogyakarta yang biasa disebut sebagai Muballigh Hijrah. Tugas ini diemban oleh setiap mahasantri Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah yang sebelumnya sudah dibekali ilmu dan metodologi dakwah. Penduduk desa tersebut ada yang berpaham Muhammadiyah dan ada juga yang berpaham NU.
Namun, jika dibandingkan maka penduduk yang berpaham NU merupakan kelompok mayoritas. Letak desa Jetis agak jauh dari perkotaan dan masih tergolong sepi penduduk, karena jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya terhitung jauh. Pohon-pohon besar yang masih berdiri kokoh membatasi satu kampung dengan kampung lainnya dengan daunnya yang rindang memberikan keteduhan bagi pejalan kaki ketika terik matahari menimpa bumi.
Kami ditempatkan di rumah sebuah kelurga yang notabene berpaham Muhammadiyah dan punya semangat tinggi untuk menghidupkan Muhammadiyah. Kepala keluarga itu seorang Bapak yang sudah tua berumur 70an tahun, sering dipanggil pak Moh. Beliau merupakan tokoh NU yang beralih ke Muhammadiyah, kemudian mewakafkan diri untuk Muhammadiyah serta berjuang dengan keras untuk menanamkan prinsip-prinsip Islam yang benar pada masyarakat setempat. Pak Moh mempunyai empat orang anak, 1 orang perempuan dan 3 orang laki-laki. Anak pertama adalah perempuan dan sudah menikah, memilki seorang anak laki-laki kelas II SD yang nantinya ia ikut mengisi hari-hari kami selama tinggal di rumah itu. Anak kedua adalah laki-laki dan juga sudah menikah, namun bekerja di Jakarta, sehingga pulang ke rumah hanya ketika libur. Sedangkan 2 anak terakhir adalah laki-laki, salah satunya merupakan alumni UIN Sunan Kalijagga dan satunya lagi masih belajar di SMK. Istri pak Moh adalah sosok ibu yang penyabar dan lembut.
Hari pertama di tempat itu, di masjid sebelah rumah Bapak yang merupakan pondok milik Muhammadiyah tempat anak-anak mengaji dan diadakannya kegiatan-kegiatan lainnya, akan diadakan pengajian rutin yang pematerinya merupakan utusan dari PDM. Saya dan Vida disuruh untuk mengikuti pengajian itu, sekaligus perkenalan dengan warga yang hadir pada saat itu. Pukul 10.00 WIB acara dimulai, saya sudah berada di sana. Ketika saatnya pembawa acara menyuruh salah satu dari kami untuk memperkenalkan diri, saya melihat ke arah samping dengan maksud untuk mempersilahkan Vida untuk maju ke depan, saya kaget karena ternyata dia masih belum datang. Dengan sedikit rasa canggung, maka saya maju dan mulai memperkenalkan diri dengan menggunakan bahasa Indonesia, tidak lupa menjelaskan bahwa saya belum bisa berbicara bahasa Jawa. Saya lega karena ternyata hadirin memaklumi. Sambutan masyarakat sangat baik dan mereka sangat senang dengan kedatangan kami. Di tengah keseriusan para hadirin menyimak apa yang saya sampaikan, salah satu Ibu yang hadir di acara itu nyeletuk “Mbak, namanya siapa?” Waduukh… ini pasti gara-gara penyakit gerogi ini, sehingga hal yang seharusnya pertama kali untuk diperkenalkan terlupakan. Hihihihi… Warga yang hadir pada waktu itu tertawa dan itu menjadikan suasana rame. “Ada pertanyaan lagi Bapak, Ibu?” pertanyaan terakhir yang saya lontarkan sebelum mengakhiri acara perkenalan. Pertanyaan ini yang menghadirkan cerita lain yang mampu membuat warga yang hadir lebih rame lagi. Karena sebelum menyampaikan pengajian, pemateri mengajukan pertanyaan kepada saya. “Tadi Ustadzah dari PUTM menanyakan apakah masih ada pertanyaan atau tidak, maka saya punya satu pertanyaan,  apakah mbaknya sudah punya calon atau belum? Kalau belum, Bapak dan Ibu yang ada di sini punya anak laki-laki yang bisa dijadikan pendamping dan siap menemani dalam berdakwah” . Pertanyaan yang membuat saya tersenyum tipis.

Lika-liku dakwah
Hari Minggu, 28 Juli 2013 peserta mubaligh hijrah yang ada di Kabupaten Kulonprogo mengadakan Liga Bocah Islami antar TPA yang diajar oleh masing-masing peserta muballigh. Acaranya diadakan di desa Jonggrangan. Jika dihitung dari tempat saya diamanahi untuk berdakwah maka akan membutuhkan waktu lebih kurang 40 menit untuk sampai ke sana, dengan mengendarai sepeda motor. Pagi-pagi sekali saya sudah dijemput oleh teman-teman yang ada di Jonggrangan, karena pada waktu itu di tempat saya tidak ada kendaraan. Kenapa saya bilang tidak ada, padahal tuan rumah sebenarnya memiliki dua sepeda motor. Ceritanya begini, teman saya Vida, tidak bisa menemani saya ke acara tersebut, sebab dia harus menghadiri evaluasi MH yang diadakan di PDM Kulonprogo. Sial bagi saya yang tidak bisa mengendarai sepeda motor, kalau ingin pergi ke suatu tempat harus dapat persetujuan dari teman saya yang satu ini. Nah, karena pada hari itu, kita harus berbagi tugas, alhasil saya yang diutus ke acara perlombaan. Menjadi satu kendala bagi kami, anak-anak tuan rumah tidak bisa diajak keluar rumah atau pergi ke suatu acara, karena seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Jika di tempat itu ada remaja perempuan mungkin ceritanya akan lain. Kembali ke kisah awal, teman yang menjemput saya ada 2 orang. Sebut saja Afif dan Nida (nama sebenarnya), masing-masing mengendarai satu sepeda motor. Setelah pamit ke salah satu cucu tuan rumah, saya berangkat dengan dibonceng Afif. Kenapa pamit ke cucu, kenapa gak ke bapak atau ibu rumah? Supaya tidak menimbulkan prasangka yang tidak baik dari pembaca maka akan saya jelaskan. Awalnya saya ingin pamit ke bapak, namun beliau lagi tidur. Saya cari ibu ke setiap sudut rumah juga tidak ketemu. Jadilah saya titip pesan pada cucunya. Hehehe.. :D
Di sepanjang perjalanan, jantung saya deg-degan. Kenapa? Medan yang kami tempuh lumayan berbahaya. Hampir sepanjang perjalanan yang kami tempuh jalannya berliku-liku dan tanjakan tajam, kiri atau kanan jalan merupakan jurang tempat berbagai makhluk berkomunitas di sana. Hihihi.. Rasa kekhawatiran saya bertambah ketika diceritai oleh Afif bahwa motor yang kami naiki itu dayanya tidak terlalu kuat untuk melalui tanjakan. Mendengar ini zikir tak pernah lepas dari hati saya. Kira-kira seperempat perjalanan, tiba-tiba setang motor yang kami kendarai berputar 60 derajat ke arah kanan. Inna lillah.. jantung saya berdesir hebat. Tak hilang kendali Afif langsung menekan rem dan akhirnya motor bisa berhenti dengan keadaan condong. Allah masih menyelamatkan nyawa kami. Jika saja setang motor mengarah ke kiri, jurang yang curam siap menampung kedatangan kami berdua. Dan pada saat itu, di tempat kami terjatuh kendaraan yang lewat terhitung tidak ada. Ini menambah rasa syukur saya bahwa Allah masih melindungi kami, setelah sebelumnya juga terjadi kecelakaan di dekat rumah.
Setelah berjumpa dengan anak-anak TPA yang imut-imut namun berisiknya minta ampuun.. pikiran saya menjadi tenang dan hati saya ikut bahagia melihat wajah mereka yang ceria. Perjalanan yang begitu menegangkan berubah menjadi suasana yang cair. Rasa sakit karena ada sedikit lecet di hati, sudah tak terasa. Beginilah nikmatnya ketika berdakwah.


Safari Ramadhan
Selain berdakwah di tempat yang sudah ditentukan oleh PDM, para muballigh biasanya juga diminta untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah ke desa-desa lain yang memang jaraknya bisa dijangkau. Saya dan Vida juga diminta oleh Pak Moh untuk mengisi ceramah di beberapa mesjid. Kami akan menyampaikan pesan dakwah secara bergantian. Meskipun berbagi tugas, tetapi untuk keberangkatan kedua-duanya harus ikut. Alasannya, jika yang pergi hanya yang bertugas saja, maka dikhawatirkan akan memberikan beban mental. Pepatahnya adalah teman sebagai pemberi semangat dikala temannya merasa gundah (dalam hal dakwah). Sikap gundah ini memang wajar muncul, karena mad’u yang akan kami hadapi belum diketahui keadannya. Biasanya kami hanya diberi gambaran tentang ideologi penduduk setempat, apakah berpaham Muhammadiyah atau NU.
Tiba waktunya giliran saya untuk menyampaikan dakwah, mad’unya tidak hanya ibu-ibu. Tetapi juga ada bapak-bapak dan remaja. Saya bertanya kepada pengurus masjid tentang posisi saya ketika memberikan ceramah, maka saya disuruh duduk di ruangan masjid bagian dalam. Ini berarti saya harus berhadapan langsung dengan para bapak, remaja putra dan anak-anak. Sedangkan jamaah yang perempuan berada di bagian luar. Karena memang bangunan masjidnya dibagi dua, bagian dalam untuk jamaah laki-laki dan bagian luar untuk jamaah perempuan.
Ketika dipanggil oleh pembawa acara dengan sebutan “ustazhah” dan mendengar penjelasannya bahwa saya akan menyampaikan “pengajian” bukan ceramah seperti biasanya, maka jantung ini berdetak semakin kencang. Apalagi berada di keliling para ikhwan, ini merupakan satu tantangan lain bagi saya. Atas saran teman saya untuk memperbanyak zikir, dengan hati yang mantap saya maju ke depan dan mulai memberi salam kepada jamaah dengan suara sedikit bergetar. Alhamdulillah di tengah keseriusan sebagian jamaah, kekhusukan sebagian yang lain serta dibumbui senyuman dari remaja-remaja yang ikut meramaikan masjid, mereka ini sebenarnya datang untuk memberi support, maka pesan yang ingin disampaikan yang sudah tersimpan dalam memori, bisa tersampaikan dengan lancar seiring adanya perhatian yang cukup baik dari jamaah. Meski, kata-kata humor atau pun sejenisnya yang diharapkan dapat menepis kantuk sebagian bapak-bapak, sudah hilang dari ingatan pada saat itu. Mungkin ini akibat yang ditimbulkan oleh suatu penyakit yang bernama demam panggung.     

Anak-anak TPA yang ceria lagi menyenangkan
Salah satu tugas kami sebagai muballigh hijrah adalah membimbing anak-anak TPA di Pondok al-Islah. Sebutan anak-anak ini adalah santri, hanya saja mereka tidak menetap di pondok, karena disebabkan beberapa hal. Kegiatan TPA berlangsung setiap hari dimulai pada pukul 4 sore hingga magrib, kecuali pada hari Kamis, merupakan hari libur. Target yang harus diharapkan tercapai oleh pengurus pondok ini sesungguhnya tidak muluk-muluk, hanya ingin anak-anak didik di sana bisa membaca al-Quran dengan benar dan praktek shalat sesuai dengan tuntunan Rasululah berdasarkan keputusan Muhammadiyah. Tingkat pendidikan para santri rata-rata adalah SD, meski juga ada sebagian yang sudah berada di tingkat SLTP, SLTA, dan juga tidak kalah semangat anak-anak yang di bawah umur 6 tahun ikut memakmurkan.
Di samping mengajar iqra’ dan atau al-Qur’an, kami juga menanamkan aqidah dan akhlak pada anak-anak tersebut. Materi itu diberikan dengan berbagai cara, seperti mengadakan permainan, lewat kisah para Nabi dan sahabat-sahabat, nyanyi, perlombaan dan tanya jawab. Mereka biasanya suka mendengarkan cerita. Jika metode ini digunakan maka perlu tenaga yang ekstra, jumlah mereka yang hampir 30 orang tentunya jika hanya dihadapi oleh “dua tenaga” akan menimbulkan kesulitan. Siap-siap saja minum air 3 gelas setelah berdiri di hadapan mereka. Jika tidak, tenggorokan akan terasa sakit dan volume suara akan mengecil. Bayangkan saja, ketika kita berbicara di depan, anak-anak yang suka usil akan menggangu teman-temannya yang lain dan membuat jamaah lain di belakang. Itu belum dibumbui rengekan dari anak yang masih usia PAUD atau TK. Jika tidak bisa menguasai mereka jadilah kita pendongeng yang terabaikan.
Satu hal yang sangat saya sesalkan sewaktu berada di dekat mereka adalah ketika mereka mengobrol sesama temannya dengan menggunakan bahasa jawa, maka saya tidak bisa ikut nimbrung. Hal yang bijak yang saya lakukan biasanya adalah hanya menjadi pendengar sejati tanpa memberikan komentar apa-apa. Suatu ketika saya pernah memotong pembicaraan mereka dengan harapan bisa mengintip topik pembicaraannya, lalu ada anak yang berkomentar “Aduh, mbak ini gak ngerti dengan apa yang kita omongin”. Merasa tertohok dengan komentar anak ingusan ini, sambil tertawa saya bilang, “Adek sih.. pakai bahasa planet lain”. Anak itu tertawa diikuti temannya yang lain. Pengalaman ini menjadi suatu nasehat dan pelajaran bagi diri saya.  

Tidak ada komentar: