Sambutan warga
Saya dan teman saya, sebut saja namanya Vida
ditugaskan untuk berdakwah selama lebih kurang 25 hari di bulan Ramadhan di sebuah desa
bernama Jetis, kecamatan Girimulyo, kabupaten Kulonprogo, Kota Yogyakarta yang biasa disebut
sebagai Muballigh Hijrah. Tugas ini diemban oleh setiap mahasantri Pendidikan
Ulama Tarjih Muhammadiyah yang sebelumnya sudah dibekali ilmu dan metodologi
dakwah. Penduduk desa tersebut ada yang berpaham Muhammadiyah dan ada juga
yang berpaham NU.
Namun, jika dibandingkan maka penduduk yang berpaham
NU merupakan kelompok mayoritas. Letak desa Jetis agak jauh dari perkotaan dan masih
tergolong sepi penduduk, karena jarak antara rumah yang satu dengan
yang lainnya terhitung jauh. Pohon-pohon besar yang masih berdiri kokoh membatasi
satu kampung dengan kampung lainnya dengan daunnya yang rindang memberikan
keteduhan bagi pejalan kaki ketika terik matahari menimpa bumi.
Kami ditempatkan di rumah sebuah kelurga yang
notabene berpaham Muhammadiyah dan punya semangat tinggi untuk menghidupkan
Muhammadiyah. Kepala keluarga itu seorang Bapak yang sudah tua berumur 70an
tahun, sering dipanggil pak Moh. Beliau merupakan tokoh NU yang beralih ke Muhammadiyah,
kemudian mewakafkan diri untuk Muhammadiyah serta berjuang dengan keras untuk
menanamkan prinsip-prinsip Islam yang benar pada masyarakat setempat. Pak Moh mempunyai empat orang anak, 1 orang perempuan dan 3 orang laki-laki. Anak
pertama adalah perempuan dan sudah menikah, memilki seorang anak laki-laki
kelas II SD yang nantinya ia ikut mengisi hari-hari kami selama tinggal di
rumah itu. Anak kedua adalah laki-laki dan juga sudah menikah, namun bekerja di
Jakarta, sehingga pulang ke rumah hanya ketika libur. Sedangkan 2 anak terakhir
adalah laki-laki, salah satunya merupakan alumni UIN Sunan Kalijagga dan
satunya lagi masih belajar di SMK. Istri pak
Moh adalah
sosok ibu yang
penyabar dan lembut.
Hari pertama di tempat itu, di masjid sebelah
rumah Bapak yang merupakan pondok milik Muhammadiyah tempat anak-anak mengaji
dan diadakannya kegiatan-kegiatan lainnya, akan diadakan pengajian rutin yang
pematerinya merupakan utusan dari PDM. Saya dan Vida disuruh untuk mengikuti pengajian itu,
sekaligus perkenalan dengan warga yang hadir pada saat itu. Pukul 10.00 WIB acara dimulai, saya sudah berada di sana. Ketika saatnya
pembawa acara menyuruh salah satu dari kami untuk memperkenalkan diri, saya
melihat ke arah samping dengan maksud untuk mempersilahkan Vida untuk maju ke
depan, saya kaget karena ternyata dia masih belum datang. Dengan sedikit rasa canggung, maka saya maju dan mulai memperkenalkan diri dengan
menggunakan bahasa Indonesia, tidak lupa menjelaskan bahwa saya belum bisa
berbicara bahasa Jawa. Saya lega
karena ternyata hadirin memaklumi. Sambutan masyarakat sangat baik dan mereka sangat senang dengan kedatangan kami. Di
tengah keseriusan para hadirin menyimak apa yang saya sampaikan, salah satu Ibu yang
hadir di acara itu nyeletuk “Mbak, namanya siapa?” Waduukh… ini pasti gara-gara penyakit gerogi ini, sehingga hal yang seharusnya pertama kali untuk diperkenalkan terlupakan. Hihihihi… Warga yang hadir pada waktu itu tertawa dan itu
menjadikan suasana rame. “Ada pertanyaan lagi Bapak, Ibu?” pertanyaan terakhir yang saya lontarkan sebelum mengakhiri acara
perkenalan. Pertanyaan ini yang menghadirkan cerita lain yang mampu membuat
warga yang hadir lebih rame lagi. Karena sebelum menyampaikan pengajian,
pemateri mengajukan pertanyaan kepada saya. “Tadi Ustadzah dari PUTM menanyakan
apakah masih ada pertanyaan atau tidak, maka saya punya satu pertanyaan, apakah mbaknya sudah punya calon atau belum?
Kalau belum, Bapak dan Ibu yang ada di sini punya anak laki-laki yang bisa
dijadikan pendamping dan siap menemani dalam
berdakwah” . Pertanyaan yang membuat saya tersenyum tipis.
Lika-liku dakwah
Hari Minggu, 28 Juli 2013 peserta mubaligh hijrah
yang ada di Kabupaten Kulonprogo mengadakan Liga Bocah Islami antar TPA yang diajar
oleh masing-masing peserta muballigh. Acaranya diadakan di desa Jonggrangan.
Jika dihitung dari tempat saya diamanahi untuk berdakwah maka akan membutuhkan waktu
lebih kurang 40 menit untuk sampai ke sana, dengan mengendarai sepeda motor. Pagi-pagi
sekali saya sudah dijemput oleh teman-teman yang ada di Jonggrangan, karena pada
waktu itu di tempat saya tidak ada kendaraan. Kenapa saya bilang tidak ada, padahal
tuan rumah sebenarnya
memiliki dua sepeda motor. Ceritanya
begini, teman saya
Vida, tidak bisa menemani saya
ke acara tersebut, sebab dia harus menghadiri evaluasi MH yang diadakan di PDM Kulonprogo.
Sial bagi saya yang tidak bisa mengendarai sepeda motor, kalau ingin pergi ke
suatu tempat harus dapat persetujuan dari teman saya yang satu ini. Nah, karena
pada hari itu, kita harus berbagi tugas, alhasil saya yang diutus ke acara
perlombaan. Menjadi satu kendala bagi kami, anak-anak tuan rumah tidak bisa
diajak keluar rumah atau pergi ke suatu acara, karena seperti yang sudah saya
jelaskan sebelumnya. Jika di tempat itu ada remaja perempuan mungkin ceritanya akan
lain. Kembali ke kisah awal, teman yang menjemput saya ada 2 orang. Sebut saja
Afif dan Nida (nama sebenarnya), masing-masing mengendarai satu sepeda motor.
Setelah pamit ke salah satu cucu tuan rumah, saya berangkat dengan dibonceng
Afif. Kenapa pamit ke cucu, kenapa gak ke bapak atau ibu rumah? Supaya tidak
menimbulkan prasangka yang tidak baik dari pembaca maka akan saya jelaskan.
Awalnya saya ingin pamit ke bapak, namun
beliau lagi tidur. Saya cari ibu ke setiap
sudut rumah juga tidak ketemu. Jadilah saya titip pesan pada cucunya.
Hehehe.. :D
Di sepanjang perjalanan, jantung saya deg-degan.
Kenapa? Medan yang kami tempuh lumayan berbahaya. Hampir sepanjang perjalanan
yang kami tempuh jalannya berliku-liku dan tanjakan tajam, kiri atau kanan
jalan merupakan jurang tempat berbagai makhluk berkomunitas di sana. Hihihi.. Rasa kekhawatiran saya bertambah
ketika diceritai oleh Afif bahwa motor yang kami naiki itu dayanya tidak
terlalu kuat untuk melalui tanjakan. Mendengar
ini zikir tak pernah lepas dari hati saya. Kira-kira seperempat perjalanan, tiba-tiba setang motor yang kami kendarai berputar 60 derajat ke arah kanan. Inna lillah.. jantung
saya berdesir hebat. Tak hilang kendali Afif langsung menekan rem dan akhirnya
motor bisa berhenti dengan keadaan condong. Allah masih menyelamatkan nyawa
kami. Jika saja setang motor mengarah ke kiri, jurang yang curam siap menampung
kedatangan kami berdua. Dan pada saat itu, di tempat kami terjatuh kendaraan
yang lewat terhitung tidak ada. Ini menambah rasa syukur saya bahwa Allah
masih melindungi kami, setelah sebelumnya juga terjadi kecelakaan di dekat
rumah.
Setelah berjumpa dengan anak-anak TPA yang
imut-imut namun berisiknya minta ampuun.. pikiran saya menjadi tenang dan hati
saya ikut bahagia melihat wajah mereka yang ceria. Perjalanan yang begitu
menegangkan berubah menjadi suasana yang cair.
Rasa sakit karena ada sedikit lecet di hati, sudah tak terasa. Beginilah
nikmatnya ketika berdakwah.
Safari Ramadhan
Selain berdakwah di tempat yang sudah
ditentukan oleh PDM, para muballigh biasanya juga diminta untuk menyampaikan
pesan-pesan dakwah ke desa-desa lain yang memang jaraknya bisa dijangkau. Saya
dan Vida juga diminta oleh Pak Moh untuk mengisi ceramah di beberapa mesjid.
Kami akan menyampaikan pesan dakwah secara bergantian. Meskipun berbagi tugas,
tetapi untuk keberangkatan kedua-duanya harus ikut. Alasannya, jika yang pergi
hanya yang bertugas saja, maka dikhawatirkan akan memberikan beban mental. Pepatahnya adalah teman sebagai pemberi semangat dikala temannya merasa
gundah (dalam hal dakwah). Sikap gundah ini memang wajar muncul, karena mad’u
yang akan kami hadapi belum diketahui keadannya. Biasanya kami hanya diberi
gambaran tentang ideologi penduduk setempat,
apakah berpaham Muhammadiyah atau NU.
Tiba waktunya giliran saya untuk menyampaikan dakwah, mad’unya tidak hanya ibu-ibu. Tetapi
juga ada bapak-bapak dan remaja. Saya
bertanya kepada pengurus masjid tentang
posisi saya ketika memberikan ceramah, maka saya disuruh
duduk di ruangan
masjid bagian dalam. Ini berarti saya harus berhadapan langsung
dengan para bapak, remaja putra dan anak-anak. Sedangkan jamaah yang perempuan
berada di bagian luar. Karena memang bangunan masjidnya dibagi dua, bagian
dalam untuk jamaah laki-laki dan bagian luar untuk jamaah perempuan.
Ketika dipanggil oleh pembawa acara dengan
sebutan “ustazhah” dan mendengar penjelasannya bahwa saya akan menyampaikan
“pengajian” bukan ceramah seperti biasanya, maka jantung ini berdetak semakin
kencang. Apalagi berada di keliling para ikhwan, ini merupakan satu tantangan
lain bagi saya.
Atas saran teman saya untuk memperbanyak zikir, dengan hati yang mantap saya
maju ke depan dan mulai memberi salam kepada jamaah dengan suara sedikit bergetar. Alhamdulillah di tengah keseriusan sebagian jamaah, kekhusukan
sebagian yang lain serta dibumbui senyuman dari remaja-remaja yang ikut
meramaikan masjid, mereka ini sebenarnya datang untuk memberi support, maka pesan
yang ingin disampaikan yang sudah tersimpan dalam memori, bisa tersampaikan
dengan lancar seiring adanya perhatian yang cukup baik dari jamaah. Meski,
kata-kata humor atau pun sejenisnya yang diharapkan dapat menepis kantuk
sebagian bapak-bapak, sudah hilang dari ingatan pada saat itu. Mungkin ini
akibat yang ditimbulkan oleh suatu penyakit yang bernama demam panggung.
Anak-anak TPA yang ceria lagi menyenangkan
Salah satu tugas kami sebagai muballigh hijrah
adalah membimbing anak-anak TPA di Pondok al-Islah. Sebutan anak-anak ini adalah santri, hanya saja mereka tidak menetap di
pondok, karena disebabkan beberapa hal. Kegiatan TPA berlangsung setiap hari
dimulai pada pukul 4 sore hingga magrib, kecuali pada hari
Kamis, merupakan hari libur. Target yang harus diharapkan tercapai oleh pengurus
pondok ini sesungguhnya tidak muluk-muluk, hanya ingin anak-anak didik di sana
bisa membaca al-Quran dengan benar dan praktek shalat sesuai dengan tuntunan
Rasululah berdasarkan keputusan Muhammadiyah. Tingkat pendidikan para santri
rata-rata adalah SD, meski juga ada sebagian yang sudah berada di tingkat SLTP,
SLTA, dan juga tidak kalah semangat anak-anak yang di bawah umur 6 tahun ikut
memakmurkan.
Di samping mengajar iqra’ dan atau al-Qur’an,
kami juga menanamkan aqidah dan akhlak pada anak-anak tersebut. Materi itu
diberikan dengan berbagai cara, seperti mengadakan permainan, lewat kisah para
Nabi dan sahabat-sahabat, nyanyi, perlombaan dan tanya jawab. Mereka biasanya
suka mendengarkan cerita. Jika metode ini digunakan maka perlu tenaga yang
ekstra, jumlah mereka yang hampir 30 orang tentunya jika hanya dihadapi oleh “dua
tenaga” akan menimbulkan kesulitan. Siap-siap saja minum air 3 gelas setelah
berdiri di hadapan mereka. Jika tidak, tenggorokan akan terasa sakit dan volume
suara akan mengecil. Bayangkan saja, ketika kita berbicara di depan, anak-anak
yang suka usil akan menggangu teman-temannya yang lain dan membuat jamaah lain di belakang. Itu belum dibumbui rengekan dari anak yang masih usia
PAUD atau TK. Jika tidak bisa menguasai mereka jadilah kita pendongeng yang
terabaikan.
Satu hal yang sangat saya sesalkan sewaktu
berada di dekat mereka adalah ketika mereka mengobrol sesama temannya dengan
menggunakan bahasa jawa, maka saya tidak bisa ikut nimbrung. Hal yang bijak
yang saya lakukan biasanya adalah hanya menjadi pendengar sejati tanpa memberikan komentar apa-apa. Suatu ketika saya pernah memotong pembicaraan mereka
dengan harapan bisa mengintip topik pembicaraannya, lalu ada anak yang
berkomentar “Aduh, mbak ini gak ngerti dengan apa yang kita omongin”. Merasa
tertohok dengan komentar anak ingusan ini, sambil tertawa saya bilang, “Adek sih.. pakai bahasa planet
lain”. Anak itu tertawa diikuti temannya yang lain. Pengalaman ini menjadi suatu nasehat dan pelajaran bagi diri saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar